Tuesday, February 06, 2007

Hidup Proporsional
oleh K.H. Abdullah Gymnastiar


SAUDARAKU, salah satu hal yang harus kita waspadai saat ini adalah kegemaran sebagian orang terhadap kemewahan dan menggejalanya pola hidup konsumtif. Memang, tantangan untuk tampil lebih (konsumtif) sangat terbuka di sekitar kita. Tayangan televisi sering membuat standar hidup melampaui kemampuan yang kita miliki. Iklan-iklan tidak semuanya memberikan keinginan primer, tapi juga yang sekunder dan tertier yang tidak terlalu penting.

Lalu, apa kerugian hidup bermewah-mewah? Di zaman sekarang kemewahan bisa membawa bencana. Minimal dicurigai orang lain. Siksaan pertama dari kemewahan adalah ingin pamer, ingin diketahui orang lain. Siksaan kedua dari kemewahan adalah takut ada saingan. Pemuja kemewahan akan mudah iri dengkinya kepada yang punya lebih. Penyakit ketiga cemas, takut rusak, takut dicuri. Makin mahal barang yang dimiliki, kita akan semakin takut kehilangan.

Hidup mewah juga sesungguhnya membuat biaya hidup menjadi tinggi, apalagi orang yang hobi kepada merek karena kita bisa jadi seperti etalase. Bukan tidak boleh memakai barang bermerek, tetapi apa artinya merek bagus jika diri kita murahan. Apalah artinya memakai jam tangan mahal, tetapi untuk sedekah pelitnya luar biasa.

Bukan tidak boleh memakai yang bermerek, tetapi jangan sampai kualitas diri kita malah lebih buruk dari merek yang kita pakai. Apalagi, orang yang korban mode, maka dia akan lelah mengikuti mode karena mode itu tidak pernah berhenti. Persoalan sebenarnya adalah dia kehilangan jati dirinya. Apalagi, barang-barang mewah itu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi dan harus dijaga dengan baik sehingga biaya pengamanannya juga tinggi.

Orang yang melihat kita pun bisa menjadi iri dan dengki atau mungkin juga menjadi curiga, terutama bila barang yang kita pakai harganya jauh melampaui penghasilan kita. Jadi hati-hati, karena sikap kita yang ingin kelihatan keren, malah bisa-bisa membuat orang menjadi curiga. Ditambah lagi dengan hisabnya yang amat berat di akhirat karena setiap barang yang kita miliki harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Oleh karena itu, sejak sekarang mulailah merujuk kepada teladan kita Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad adalah puncak kemuliaan, puncaknya prestasi yang bagi kita umat Islam sudah tidak ada keraguan lagi ihwal kemuliaannya. Beliau adalah pemimpin sebuah negara, tetapi beliau tetap dikenal sebagai orang yang bersahaja, bahkan sampai sekarang tidak kurang kemuliaannya.

Kalau mau jujur, sebenarnya orang-orang yang bersahaja itu selalu mencuri hati kita. Kalau ada pejabat tinggi yang bersahaja, hati kita akan tercuri. Kalau ada artis kaya dan terkenal, tetapi bersahaja, kita kagum kepadanya.

Memang bersahaja itu membuat seseorang lebih berharga dari apa yang dimilikinya. Mungkin dia mempunyai mobil bagus, tetapi dirinya jauh lebih berharga daripada mobilnya. Hidup bersahaja itu hemat sebab kita tidak perlu merek-merek yang mahal. Orang yang hidup bersahaja tidak pusing dengan mode, yang penting dia berusaha berpenampilan yang disukai oleh Allah dan tidak menyusahkan orang lain sehingga memakai merek apa saja tidak masalah karena yang penting manfaatnya.

Orang yang bersahaja itu hidup tenteram dan tidak jadi bahan iri orang lain. Karena tidak ada yang membuat orang lain jadi iri, tidak membuat orang lain kotor hati, dan juga tidak membuat dirinya kotor hati.

Karena tabiatnya, kalau seseorang mempunyai barang yang bagus, biasanya dia ingin memperlihatkan atau memamerkan barang tersebut. Misalnya, ketika hendak memarkir mobil, dia selalu mencari tempat terdepan dan tempat strategis agar mobilnya terlihat orang lain.

Nah, bagi orang yang hidupnya bersahaja dia akan tenang-tenang saja karena dia tidak merasa perlu diistimewakan, tidak ingin dispesialkan, sehingga melangkah ke mana pun baginya teramat ringan tanpa beban. Seperti halnya Rasulullah saw naik unta atau naik keledai, bagi beliau sama saja. Bahkan, rumah beliau juga begitu sederhana dan tidak dilengkapi perabotan yang mahal-mahal.

Oleh karena itu, hidup ini harus proporsional.

Lalu, apakah kita harus hidup miskin? Tidak! Namun, setidaknya kalau kita hidup bersahaja, selain hemat dan terhormat, insya Allah juga akan menjadi ladang ibadah bagi kita karena mengikuti sunah Rasulullah saw dan kita tidak membuat orang lain sakit hati. Dari sana, kita juga bisa bergaul secara nyaman dengan siapa pun. Tidak apa-apa kita berpakaian bagus, yang penting proporsional. Misalnya, ketika pergi ke sebuah resepsi, tampaknya tidak layak jika kita berpakaian kumuh dan lusuh karena ingin dianggap bersahaja. Justru malah sebaliknya, orang akan mual melihat kita. Demikian halnya jika kita berangkat ke resepsi dengan memakai segala macam aksesori, tentu itu juga akan menjadikan kita bahan tontonan.

Di pihak lain, kita juga harus mendefinisikan dulu pengertian mewah agar kita tidak mudah menilai orang lain hidup mewah, sementara kita sendiri tidak mengerti maksudnya. Mewah itu adalah sesuatu yang melampaui keperluan dan melampaui kemampuan. Kalau kita di rumah punya sandal jepit sepuluh pasang, bisa jadi kita termasuk orang yang mewah karena kita tidak memerlukan sandal sebanyak itu.

Rumah besar juga belum tentu tergolong mewah kalau pemiliknya memang meniatkan untuk hal-hal positif, seperti menampung anak yatim atau karena keluarganya memang banyak sehingga memerlukan tempat yang luas. Jadi, dalam menilai sesuatu itu mewah atau tidak adalah dengan melihat apakah sesuai dengan keperluan dan kemampuan atau tidak. Yang paling penting adalah niat di dalam hati. Kalau kita terbiasa hidup bersahaja, hidup kita juga akan tenang dan tidak ada beban. Jadi, mulai sekarang latihlah untuk tidak rindu pujian orang dan tidak tamak dengan penilaian orang lain. Bersyukurlah apabila setiap barang yang kita miliki halal dan sesuai kemampuan. Terserah orang mau menganggap kita miskin, tidak apa-apa, karena kita tidak bisa hidup dengan penilaian orang lain terus-menerus.

Apa artinya kita dipuji orang lain, tetapi kita hidup tertekan. Apa artinya bila kita dipuji orang lain, tetapi kita menderita. Apakah seperti itu hidup yang kita inginkan? Mulai sekarang marilah kita evaluasi diri jika masih berminat untuk hidup bermewah-mewah, bersiaplah dengan segudang penderitaan. Akan tetapi, kalau kita hidup bersahaja, itulah yang akan selalu membuat orang menjadi terhormat.

Tampaknya, pola hidup sederhana harus dibudayakan kembali di masyarakat. Tak terkecuali di keluarga kita. Kalau orang tua memberikan contoh pada anak-anaknya tentang kesederhanaan, anak akan terjaga dari merasa diri lebih dari orang lain, tidak senang dengan kemewahan, dan mampu mengendalikan diri dari hidup bermewah-mewah.

Dalam Islam, kaya itu bukan hal yang hina, bahkan dianjurkan. Perintah zakat bisa dipenuhi kalau kita punya harta, demikian pula perintah haji. Yang dilarang itu adalah berlebih-lebihan. Dalam Q.S At-Takaatsur, Allah SWT dengan tegas mencela orang yang berlebih-lebihan. Memang kita harus kaya, tapi tidak harus bermegah-megah. Beli apa saja asal perlu, bukan karena ingin. Keinginan itu biasanya tidak ada ujungnya.

Semoga dengan hidup sederhana dan proporsional; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama. Amin. Wallahu 'alam bishshawab.

No comments: