Wednesday, December 05, 2007
Monday, November 19, 2007
Friday, November 16, 2007
Oleh : Adi Sumanto - Jakarta/awl
Seorang tukang kayu yang sudah tua dan tidak lagi mampu bekerja karena alasan fisik, bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tidak lagi bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya untuk menghidupi keluarganya. Namun keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.
Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.
Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan persaan malas dan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Dan saat membangun rumah pesanan majikannya itu, ia menggunakan bahan-bahan dengan kualitas yang sangat rendah. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah dengan kualitas yang baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.
Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.
Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian
terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani
hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.
Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri.
Monday, October 15, 2007
Friday, October 12, 2007
Monday, October 08, 2007
by : anonymous
Suatu cerita yang indah:
Seorang Muslim tua, Amerika bertahan hidup di suatu perkebunan di suatu pegunungan sebelah timur Negara bagian Kentucky dengan cucu lelakinya yg masih muda. Setiap pagi Kakek bangun lebih awal dan membaca Quran di meja makan di dapurnya. Cucu lelaki nya ingin sekali menjadi seperti kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam cara apapun
semampunya.
Suatu hari sang cucu nya bertanya, "Kakek! Aku mencoba untuk membaca Qur'An seperti yang kamu lakukan tetapi aku tidak memahaminya, dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan dari membaca Qur'An?
Dengan tenang sang Kakek dengan meletakkan batubara di dasar keranjang, memutar sambil melobangi keranjang nya ia menjawab, " Bawa keranjang batubara ini ke sungai dan bawa kemari lagi penuhi dengan air."
Maka sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis menetes sebelum tiba di depan rumahnya.
Kakek tertawa dan berkata, "Lain kali kamu harus melakukukannya lebih cepat lagi," Maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang tsb untuk dicoba lagi. Sang cucu berlari lebih cepat, tetapi tetap, lagi2 keranjangnya kosong sebelum ia tiba di depan rumah.
Dengan terengah-engah, ia berkata kepada kakek nya bahwa mustahil membawa air dari sungai dengan keranjang yang sudah dibolongi, maka sang cucu mengambil ember sebagai gantinya.
Sang kakek berkata, " Aku tidak mau ember itu; aku hanya mau keranjang batubara itu. Ayolah, usaha kamu kurang cukup," maka sang kakek pergi ke luar pintu untuk mengamati usaha cucu laki-lakinya itu.
Cucu nya yakin sekali bahwa hal itu mustahil, tetapi ia tetap ingin menunjukkan kepada kakek nya, biar sekalipun ia berlari secepat-cepatnya, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah. Sekali lagi sang cucu mengambil air ke dalam sungai dan berlari sekuat tenaga menghampiri kakek, tetapi ketika ia sampai didepan
kakek keranjang sudah kosong lagi.
Sambil terengah-engah ia berkata, "Lihat Kek, percuma!"
" Jadi kamu pikir percuma?" Jawab kakek.
Kakek berkata, " Lihatlah keranjangnya. " Sang cucu menurut, melihat ke dalam keranjangnya dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda. Keranjang itu telah berubah dari keranjang batubara yang tua kotor dan kini bersih, luar dalam.
"Cucuku, hal itulah yang terjadi ketika kamu membaca Qur'An. Kamu tidak bisa memahami atau ingat segalanya, tetapi ketika kamu membaca nya lagi, kamu akan berubah, luar dalam. Itu adalah karunia dari Allah di dalam hidup kita."
Tuesday, October 02, 2007
by : anonymous
Ketika Pak Heru, atasan saya, memerintahkan untuk mencari klien yang bergerak di bidang interior, seketika pikiran saya sampai kepada Pak Azis.
Meskipun hati masih meraba-raba, apa mungkin Pak Azis mampu membuat kios internet, dalam bentuk serupa dengan anjungan tunai mandiri dan dari kayu pula, dengan segera saya menuju ke bengkel workshop Pak Azis.
Setelah beberapa kali keliru masuk jalan, akhirnya saya menemukan bengkel Pak Azis, yang kini ternyata sudah didampingi sebuah masjid. Pak Azispun tampak awet muda, sama seperti dulu, hanya pakaiannya yang sedikit berubah. Kali ini dia selalu memakai kopiah putih. Rautnya cerah, fresh, memancarkan kesan tenang dan lebih santai. Beungeut wudhu-an ( wajah sering wudhu), kata orang sunda. Selalu bercahaya.
Hidayah Allah ternyata telah sampai sejak lama, jauh sebelum Pak Azis berkecimpung dalam berbagai dinamika kegiatan Islam. Hidayah itu bermula dari peristiwa angin puting-beliung, yang tiba-tiba menyapu seluruh atap bengkel workshop-nya, pada suatu malam kira-kira lima tahun silam. "Atap rumah saya tertiup angin sampai tak tersisa satupun. Terbuka semua." cerita Pak Azis."Padahal nggak ada hujan, nggak ada tanda-tanda bakal ada angin besar. Angin berpusar itupun cuma sebentar saja."
Batin Pak Azis bergolak setelah peristiwa itu. Walau uang dan pekerjaan masih terus mengalir kepadanya, Pak Azis tetap merasa gelisah, stres & selalu tidak tenang. "Seperti orang patah hati, Ndra. Makan tidak enak, tidur juga susah."cerita Pak Azis lagi.
Lama-kelamaan Pak Azis menjadi tidak betah tinggal di rumah dan stres.
Padahal, sebelum kejadian angin puting-beliung yang anehnya hanya mengenai bengkel workshop merangkap rumahnya saja, Pak Azis merasa hidupnya sudah sempurna. Dari desainer grafis hingga jadi arsitek. Dengan keserbabisaannya itu, pak Azis merasa puas dan bangga, karena punya penghasilan tinggi. Tapi setelah peristiwa angin puting-beliung itu, pak Azis kembali bangkrut, beliau bertanya dalam hati : "apa sih yang kurang" apa salahku " ?
Akhirnya pak Azis menekuni ibadah secara mendalam "Seperti musafir atau walisongo, saya mendatangi masjid-masjid di malam hari. Semua masjid besar dan beberapa masjid di pelosok Bandung ini, sudah pernah saya inapi."
Setahun lebih cara tersebut ia jalani, sampai kemudian akhirnya saya bisa tidur normal, bisa menikmati pekerjaan dan keseharian seperti sediakala.
"Bahkan lebih tenang dan santai daripada sebelumnya."
"Lebih tenang ? Memang Pak Azis dapet hikmah apa dari tidur di masjid itu?"
"Di masjid itu 'kan tidak sekedar tidur, Ndra. Kalau ada shalat malam, kita dibangunkan, lalu pergi wudhu dan tahajjud. Karena terbiasa, tahajjud juga jadi terasa enak.
Malah nggak enak kalau tidak shalat malam, dan shalat-shalat wajib yang lima itu jadi kurang enaknya, kalau saya lalaikan. Begitu, Ndra."
"Sekarang tidak pernah terlambat atau bolong shalat-nya, Pak Azis ?"
"Alhamdulillah. Sekarang ini saya menganggap bhw yg utama itu adalah shalat. Jadi, saya dan temen-temen menganggap kerja itu cuma sekedar selingan aja."
"Selingan ?"
"Ya, selingan yang berguna. Untuk menunggu kewajiban shalat, Ndra."
Untuk beberapa lama saya terdiam, sampai kemudian adzan ashar mengalun jelas dari masjid samping rumah Pak Azis. Pak Azis mengajak saya untuk segera pergi mengambil air wudhu, dan saya lihat para pekerjanyapun sudah pada pergi ke samping rumah, menuju masjid. Bengkel workshop itu menjadi lengang seketika. Sambil memandang seluruh ruangan bengkel, sambil berjalan menuju masjid di samping workshop, terus terngiang-ngiang di benak saya :
"Kerja itu cuma selingan, Ndra. Untuk menunggu waktu shalat..."
Sepulangnya dari tempat workshop, sambil memandang sibuknya lalu lintas di jalan raya, saya merenungi apa yang tadi dikatakan oleh Pak Azis. Sungguh trenyuh saya, bahwa setelah perenungan itu, saya merasa sebagai orang yang sering berlaku sebaliknya. Ya, saya lebih sering menganggap shalat sebagai waktu rehat, cuma selingan, malah saya cenderung lebih mementingkan pekerjaan kantor. Padahal sholat yang akan bantu kita nantinya...(sungguh saya orang yang merugi..)
Kadang-kadang waktu shalat dilalaikan sebab pekerjaan belum selesai, atau rapat dengan klien dirasakan tanggung untuk diakhiri.
Itulah penyebab dari kegersangan hidup saya selama ini. Saya lebih semangat dan habis-habisan berjuang meraih dunia, daripada mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan kekal di akhirat nanti.
padahal dunia ini akan saya tinggalkan..juga ..........kenapa saya begitu bodoh..
Saya lupa, bahwa shalat adalah yang utama.
Mulai saat itu saya berjanji untuk mulai shalat di awal waktu..
Saturday, July 14, 2007
Saturday, June 30, 2007
Sunday, June 17, 2007
Saturday, June 16, 2007
Friday, June 08, 2007
Friday, May 11, 2007
Oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Seseorang suatu ketika mengeluh 'Saya sudah sering sekali mendengarkan ceramah, menyimak mubaligh yang menyampaikan kebenaran, dan mengkaji sendiri buku-buku tentang ajaran Islam. Akan tetapi, mengapa ketika saya menyampaikanya kepada orang lain, rasa-rasanya kata-kata ini selalu saja tidak cocok dengan yang ada di dalam kalbu? Dan yang Iebih menyedihkan lagi, mengapa kata-kata yang keluar dari lisan ini tampaknya seperti masuk ke telinga kanan keluar lagi dari telinga kiri? Sama sekali tidak menimbulkan kesan dan tidak pula berbekas di dalam pikiran maupun hati orang yang mendengarkannya.
“selalu mendahului perkataan mereka. Karenanya, manakala telah mendapat penerangan dari cahaya tersebut maka sampailah kalimat yang mereka ucapkan itu."
Kalimat Ibnu Atho'illah di atas kurang lebih dapat diartikan, bahwa orang-orang yang telah mengenal Allah dengan baik selalu sadar bahwa kebenaran itu milik Allah. Akibatnya, kalau mau mengucapkan sesuatu, selalu hatinya terlebih dahulu berlindung kepada. Allah dari tipu daya syetan dan memohon kepada-Nya agar lidahnya dapat menjadi jalan kebenaran.
Hal seperti inilah yang mungkin jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Biasanya kalau kita ingin menyampaikan sesuatu kepada orang orang lain, kita akan sangat sibuk merekayasa kata-kata yang akan diucapkan. Jarang kita lakukan ketika ingin berbicara, sibuk meminta pertolongan kepada Allah Azza wa JaIla. Padahal, yang mengetahui kebenaran hanyalah Allah. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah.
Oleh karena itu, ketika kita menghadapi persoalan seperti disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang mesti kita pertanyakan kepada diri sendiri.
Pertama, ketika kita akan menyampaikan suatu kebenaran, pernahkah kita memohon pertolongan kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi, sehingga mengandung hikmah? Kalau belum, maka mungkin inilah penyebab mengapa kata-kata yang kita ucapkan, kendati tak lepas dari dalil Al-Ouran dan Hadits, tetapi tidak pernah mengena dan menyentuh kalbu yang mendengarkannya.
Kedua, sebagaimana kata Ibnu Atho'illah sendiri, 'Tiap-tiap kalimat yang keluar pasti membawa corak bentuk hati (dari orang) yang mengeluarkannya.
Mengapa kata-kata yang kita ucapkan kadang-kadang kurang meresap? Mungkin pertanyaan yang harus segera kita ajukan terhadap hati kita sendiri adalah: ikhlaskah kita menyampaikannya? Kalau hati ini sudah kurang keikhlasannya yang mendengarkan ikhlas, tetapi yang berbicara kurang ikhlas, maka hampir dapat dipastikan kata-kata kita tidak akan memiliki bobot.
Di antara faktor penyebab mengapa kafa-kata kita kurang bisa menyentuh kalbu adalah karena kata-kata yang menyentuh kalbu itu bukanlah hasil rekayasa pikiran dan bukan pula buah rekaan lisan, melainkan wujud dari penataan dan kejernihan hati. Semakin hati kita terus menerus diusahakan ikhlas, tulus, dan penuh kasih sayang, maka kata-kata pun niscaya akan semakin memilki kekuatan menembus hati orang yang mendengarkannya.
Sibuknya kita mengatur kata-kata, peribahasa, ataupun ungkapan-ungkapan yang indah-indah, tetapi kalau tidak bersumber dari hati yang jernih dan bening, maka hanya manis didengar telinga, namun sekali-kali tidak akan pernah menyetuh kalbu.
Jadi, mengapa kata-kata yang keluar dari mulut ini sudah begitu luber dan tumpah ruah berbusa-busa, tetapi orang toh belum bergeming juga? Jawabnya, mungkin karena kita terlalu sibuk mengatur pikiran dan lisan, tetapi tidak sibuk mengatur hati. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Belum dinamakan lurus keimanan seseorang itu, sehingga lurus pula hatinya dan belum juga dinamakan lurus hatinya itu, sehingga luruslah lisannya ..." (H.R. Ibnu Abiddunya dan Kharaiti)
Oleh sebab itu, tidak usah heran orang orang yang bijak bestari dan mulia kalau berbicara, kata-katanya sedikit namun mempunyai kekuatan yang besar. Kunci kekuatan kata-kata mereka tiada lain adalah hati yang ikhlas. Karena, bila yang berbicara ikhlas dan yang mendengarkannya pun ikhlas, maka tak ubahnya laksana gelombang radio FM, suaranya akan lezat terasa di telinga dan lezat pula terasa di hati.
Syeikh Ahmad Yasin adalah seorang ulama kharismatik dan mujahid besar yang sangat berpengaruh di kalangan kaum Muslimin dan pejuang Palestina. Siapakah Ahmad Yasin? Ternyata beliau secara syariat hanyalah seorang tua yang sekujur tubuhnya lumpuh, kecuali bagian kepala, akibat sebuah kecelakaan yang dialaminya dalam sebuah latihan perkemahan ketika akfif dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Imam Hasan Al-Banna di Mesir.
Akan tetapi, siapa pun akan merasa amat tajub dan terkagum-kagum bila mendengar bahwa beliau ternyata adalah tokoh penggerak lntifadah, sebuah gerakan perjuangan jihad melawan tentara Yahudi Israel. Tak hanya para orang tua, tetapi juga para remaja dan anak-anak turun ke jalan-jalan dengan senjata apa saja yang ada di tangan: ketapel, batu-batuan, ban bekas yang dibakar, dan lain sebagainya. Tanpa rasa takut dan bahkan dengan teriakan teriakan "Allaahu Akbar" mereka maju dan berlarian menyerang tentara, Yahudi yang notabene bersenjata lengkap.
Syeikh Ahmad Yasin juga adalah ulama pendiri Hamas (Harakah al Muqawanah a- Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) yang beranggotakan para mujahidin militan Palestina. Gerakan ini merupakan kekuatan utama dan kelompok mujahid paling berpengaruh serta mengakar di daerah Teo Barat dan Jalur Gaza, yang merupakan wilayah pendudukan Israel.
Masya Allah! Secara syariat apalah artinya seorang Ahmad Yasin yang tubuhnya lumpuh total. Akan tetapi, kecerdasan otaknya, kekuatan imannya, ketajaman lisannya, dan yang terutama sekali keikhIasan hatinya demi menegakkan daulah Isiamiyah di bumi Palestina, telah mampu menggerakkan dan mengobarkan semangat dan kesadaran berpuluh ribu warga Muslim Palestina untuk berjihad di jalan Allah melawan kaum kuffar Yahudi.
Kuncinva, sekali lagi, ternyata hati yang ikhlas, sehingga lisan ini menjadi sangat bermutu dan mempunyai bobot yang amat mengesankan.
Karenanya, ketika seseorang datang kepada ulama ahli hikmah bernama Muhammad bin Wasi, lalu berkeluh kesah, "Mengapa hati orang-orang sekarang sepertinya tidak lagi mampu khusyuk dan air mata pun tak lagi bisa bercucuran manakala sedang berdoa, menyimak taushiyah, ataupun mendengarkan ayat-ayat AI-Quran dibacakan?", Muhammad bin Wasi tanpa ragu menjawab, "Kemungkinan yang dernikian itu bermula dari engkau sendiri sebab bila nasihatmu keluar dari hati yang ikhlas, niscaya akan masuk ke dalam hati orang yang mendengarkannya. Sebalikinya, nasihati yang hanya berupa gubahan lidah dan buah rekaan pikiran belaka, maka ia akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri."
Walhasil, siapa pun yang sangat merindukan dapat tersampaikannya kebenaran dari Allah dan dapat tersemainya nilai-nilai luhur ajaran Islam di daria setiap manusia, sehingga Islam benar-benar dapat dirasakan sebagai rahmatan lil 'alamin, maka tidak bisa tidak harus selalu merenungkan setiap kata-kata nasihati yang pernah atau akan terlontar dari lisannya, dengan satu pertanyaan saja, "Apakah hati saya sudah ikhlas menyampaikannya?
Thursday, April 19, 2007
Tuesday, April 17, 2007
Friday, March 30, 2007
Friday, March 09, 2007
Oleh : Asro Kamal Rokan
Pesan singkat masuk ke handphone saya: Apa yang terjadi pada bangsa ini, bencana terus datang susul-menyusul. Apakah Tuhan YME sedang menghukum bangsa ini? Lihatlah, kini Sumatra Barat yang diguncang gempa. Sejumlah orang tewas.
Saya tak berani menjawab pertanyaan tersebut, karena saya --dan tentu saja teman yang mengirim pesan singkat itu-- tak tahu kehendak Allah, apalagi mewakili-Nya untuk menjelaskan alasan bencana demi bencana terhadap bangsa ini. Secara ilmiah, mungkin ada alasannya. Namun, yang pasti alam tunduk pada kehendak Allah, mereka sujud, tak pernah membantah, apalagi menolak.
Ya Allah, bencana memang terus menerpa negeri ini. Media massa masih memberitakan tanah longsor di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 53 orang dinyatakan tewas. Sebagian ada yang belum ditemukan mayatnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono khusus memimpin rapat kabinet untuk mengatasi akibat-akibat dari bencana ini, termasuk soal pengungsi. Sehari kemudian, tersiar lagi berita yang menyesakkan. Belasan orang tewas akibat gempa berkekuatan 6,0 Skala Ritcher di Sumatra Barat.
Ya Allah, dapatlah kami rasakan betapa orang-orang panik, berlarian mencari tempat yang menurut mereka aman. Anak-anak dengan kakinya yang kecil, ikut berlari tanpa mereka tahu apa yang terjadi. Ibu-ibu tak sempat menyusui bayinya. Mereka sangat takut, takut sekali ....
Ya Allah, Kau Maha Tahu. Tolonglah kami, cukupkanlah sudah bencana ini. Kami takut, bencana demi bencana ini menjadi suatu yang biasa. Tidak lagi menggetarkan kami, tidak lagi membuat kami sadar betapa kecilnya kami atas kekuasaan-Mu, tidak lagi membuat hati kami terketuk untuk saling membantu.
Kami takut ini menjadi biasa, seperti kami telah terbiasa melihat pengemis mengais tong sampah untuk makan, seperti kami terbiasa melihat seseorang tewas akibat tabrak lari, seperti kami terbiasa melihat polisi menerima sogokan Rp 10 ribu, seperti kami terbiasa melihat orang tua memukul anak-anaknya, terbiasa mendengar kata-kata kasar dan tahayul-tahayul di sinetron.
Kami takut ya Allah, bencana demi bencana ini menjadi suatu yang biasa. Kami takut jiwa dan hati nurani kami menjadi kebal dan tidak lagi peduli pada penderitaan saudara-saudara kami itu. Kami juga takut, mencari-cari kesalahan pihak lain atas bencana ini, dan nauzubiillah, kami takut mengaitkan bencana ini pada tahayul.
Ya Alllah, kami hanya bisa meminta: Tolonglah kami. Perkuat iman kami, perkuat rasa cinta kami terhadap sesama. Kuatkan kesadaran kami bahwa kami tidak berarti apa-apa, bahkan jauh lebih kecil dari sebutir debu di gurun yang maha luas jika dibanding dengan kekuasaan-Mu, dibanding dengan kehendak-Mu yang Mahaagung. Apalah kami ini dalam lautan kasih sayang-Mu. Kami tidak berdaya ya Allah, sangat tidak berdaya.
Ya Allah, kami telah tersesat. Bencana demi bencana ini mungkin jalan yang Kau tunjukkan untuk mengetuk Rumah-Mu, kami ketuk ya Allah dengan segala kelembutan hati kami. Kami ingin masuk ya Allah, kami ingin masuk, rebah di Kaki-Mu, sekarang juga ...
Saturday, March 03, 2007
Friday, March 02, 2007
Disarikan dari buku "MISTERI SHALAT SUBUH : Menyingkap 1001 Hikmah Shalat Subuh Bagi Para Pribadi dan Masyarakat"
Pengarang : DR. Raghib As-Sirjani
Penerbit : Aqwam
Pernah, salah seorang penguasa Yahudi, menyatakan bahwa mereka tidak takut dengan orang Islam kecuali pada satu hal adalah bila jumlah jamaah shalat Subuh menyamai jumlah jamaah shalat Jum'at. "Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya" Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya; dan kalau jelek, maka jeleklah seluruh amalnya. Bagaimana mungkin seorang mukmin mengharapkan kebaikan di akhirat, sedang pada hari kiamat bukunya kosong dari shalat Subuh tepat waktu?
"Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak" [HR Al-Bukhari dan Muslim]. Shalat Subuh memang shalat wajib yang paling sedikit jumlah rekaatnya;
hanya dua rekaat saja. Namun, ia menjadi standar keimanan seseorang dan ujian terhadap kejujuran, karena waktunya sangat sempit (sampai matahari terbit).
Ada hukuman khusus bagi yang meninggalkan shalat Subuh. Rasulullah saw telah menyebutkan hukuman berat bagi yang tidur dan meninggalkan shalat wajib, rata-rata penyebab utama seorang muslim meninggalkan shalat Subuh adalah tidur. "Setan melilit leher seorang di antara kalian dengan tiga lilitan ketika ia tidur. Dengan setiap lilitan setan membisikkan, 'Nikmatilah malam yang panjang ini'. Apabila ia bangun lalu mengingat Allah, maka terlepaslah lilitan itu. Apabila ia berwudhu, lepaslah lilitan yang kedua. Kemudian apabila ia shalat, lepaslah lilitan yang ketiga, sehingga ia menjadi bersemangat. Tetapi kalau tidak, ia akan terbawa lamban dan malas".
Jawablah dengan jujur : Ketika Anda harus berangkat keluar kota dengan menggunakan pesawat terbang atau kereta api pada pukul 05:00 pagi, bisakah dengan potensi fisik Anda tiba di bandara atau stasiun tepat pada waktunya? Apakah ada kelonggaran bagi Anda untuk datang terlambat ? Apabila ada seorang pengusaha yang berjanji akan memberi Anda uang setiap hari pada pukul 05:00 pagi sebesar Rp 1 juta jika Anda datang tepat padawaktunya, apakah Anda akan mendatanginya? Apakah Anda akan beralasan bahwa Anda tidur terlambat, sehingga Anda tidak bisa datang?
Jika Anda benar-benar dapat memenuhi keinginannya, sehingga Anda mendapat Rp 365 juta dalam setahun, lalu keesokan harinya ajal datang menjemput. Bayangkan Anda dibawa dengan keranda menuju liang lahat. Jika Anda berada di posisi ini, jawablah dengan jujur : "Apakah Anda senang masuk liang lahat dengan membawa Rp 365 juta, dan tidak melaksanakan shalat Subuh walau sekalipun?" Ataukah lebih utama bila Anda masuk liang lahat dengan membawa 365 shalat Subuh, dan Anda tidak bawa uang walau hanya seribu rupiah?" Jawablah dengan sejujur-jujurnya! Manakah yang lebih kekal dan bermanfaat?
"Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (waktu Isya' dan Subuh) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat" [HR. Abu Dawud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah] Allah akan memberi cahaya yang sangat terang pada hari kiamat nantinya kepada mereka yang menjaga Shalat Subuh berjamaah (bagi kaum lelaki di masjid), cahaya itu ada dimana saja, dan tidak mengambilnya ketika melewati Sirath Al-Mustaqim, dan akan tetap bersama mereka sampai mereka masuk surga, Insya Allah.
"Shalat berjamaah (bagi kaum lelaki) lebih utama dari shalat salah seorang kamu yang sendirian, berbanding dua puluh lima lipat. Malaikat penjaga malam dan siang berkumpul pada waktu shalat Subuh". "Kemudian naiklah para Malaikat yang menyertai kamu pada malam harinya, lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka - padahal Dia lebih mengetahui keadaan mereka - "Bagaimana hamba-2Ku ketika kalian tinggalkan ?" Mereka menjawab, "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami jumpai mereka dalam keadaan shalat juga" [HR Al-Bukhari].
Sedangkan bagi wanita - walau shalat di masjid diperbolehkan - shalat di rumah adalah lebih baik dan lebih banyak pahalanya. Ujian yang membedakan antara wanita munafik dan wanita mukminah adalah shalat pada permulaan waktu, yaitu yang mengerjakan shalat Subuh pada saat para pria sedang shalat di masjid. "Barang siapa yang menunaikan shalat Subuh maka ia berada dalam jaminan Allah. Shalat Subuh menjadikan seluruh umat berada dalam jaminan, penjagaan,dan perlindungan Allah sepanjang hari. Barang siapa membunuh orang yang menunaikan shalat Subuh, Allah akan menuntutnya, sehingga Ia akan membenamkan mukanya ke dalam neraka" [HR Muslim, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah].
Banyak permasalahan, yang bila diurut, bersumber dari pelaksanaan shalat Subuh yang disepelekan. Banyak peristiwa petaka yang terjadi pada kaum pendurhaka terjadi di waktu Subuh, yang menandai berakhirnya dominasijahiliyah dan munculnya cahaya tauhid. "Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?" (QS Huud:81).
Rutinitas harian dimulainya tergantung pada pelaksanaan shalat Subuh. Seluruh urusan dunia seiring dengan waktu shalat, bukan waktu shalat yang harus mengikuti urusan dunia. "Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS Muhammad : 7). "Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa" (QS Al-Hajj:40).
TIPS MENJAGA SHALAT SUBUH :
1. Ikhlaskan niat karena Allah, dan berikanlah hak-hak-Nya.
2. Bertekad dan introspeksilah diri Anda setiap hari.
3. Bertaubat dari dosa-dosa dan berniatlah untuk tidak mengulangi kembali.
4. Perbanyaklah membaca doa agar Allah memberi kesempatan untuk shalat Subuh.
5. Carilah kawan yang baik (shalih).
6. Latihlah untuk tidur dengan cara yang diajarkan Rasulullah saw (tidur awal; berwudhu sebelum tidur; miring ke kanan; berdoa).
7. Mengurangi makan sebelum tidur serta jauhilah teh dan kopi pada malam hari.
8. Ingat keutamaan dan hikmah Subuh; tulis dan gantunglah di atas dinding.
9. Bantulah dengan 3 buah bel pengingat (jam weker; telpon; bel pintu).
10. Ajaklah orang lain untuk shalat Subuh dan mulailah dari keluarga.
Jika Anda telah bersiap meninggalkan shalat Subuh, hati-hatilah bila Anda berada dalam golongan orang-orang yang tidak disukai Allah untuk pergi shalat. Anda akan ditimpa kemalasan, turun keimanan, lemah dan terus berdiam diri.
Monday, February 26, 2007
Friday, February 09, 2007
Tuesday, February 06, 2007
oleh K.H. Abdullah Gymnastiar
SAUDARAKU, salah satu hal yang harus kita waspadai saat ini adalah kegemaran sebagian orang terhadap kemewahan dan menggejalanya pola hidup konsumtif. Memang, tantangan untuk tampil lebih (konsumtif) sangat terbuka di sekitar kita. Tayangan televisi sering membuat standar hidup melampaui kemampuan yang kita miliki. Iklan-iklan tidak semuanya memberikan keinginan primer, tapi juga yang sekunder dan tertier yang tidak terlalu penting.
Lalu, apa kerugian hidup bermewah-mewah? Di zaman sekarang kemewahan bisa membawa bencana. Minimal dicurigai orang lain. Siksaan pertama dari kemewahan adalah ingin pamer, ingin diketahui orang lain. Siksaan kedua dari kemewahan adalah takut ada saingan. Pemuja kemewahan akan mudah iri dengkinya kepada yang punya lebih. Penyakit ketiga cemas, takut rusak, takut dicuri. Makin mahal barang yang dimiliki, kita akan semakin takut kehilangan.
Hidup mewah juga sesungguhnya membuat biaya hidup menjadi tinggi, apalagi orang yang hobi kepada merek karena kita bisa jadi seperti etalase. Bukan tidak boleh memakai barang bermerek, tetapi apa artinya merek bagus jika diri kita murahan. Apalah artinya memakai jam tangan mahal, tetapi untuk sedekah pelitnya luar biasa.
Bukan tidak boleh memakai yang bermerek, tetapi jangan sampai kualitas diri kita malah lebih buruk dari merek yang kita pakai. Apalagi, orang yang korban mode, maka dia akan lelah mengikuti mode karena mode itu tidak pernah berhenti. Persoalan sebenarnya adalah dia kehilangan jati dirinya. Apalagi, barang-barang mewah itu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi dan harus dijaga dengan baik sehingga biaya pengamanannya juga tinggi.
Orang yang melihat kita pun bisa menjadi iri dan dengki atau mungkin juga menjadi curiga, terutama bila barang yang kita pakai harganya jauh melampaui penghasilan kita. Jadi hati-hati, karena sikap kita yang ingin kelihatan keren, malah bisa-bisa membuat orang menjadi curiga. Ditambah lagi dengan hisabnya yang amat berat di akhirat karena setiap barang yang kita miliki harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Oleh karena itu, sejak sekarang mulailah merujuk kepada teladan kita Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad adalah puncak kemuliaan, puncaknya prestasi yang bagi kita umat Islam sudah tidak ada keraguan lagi ihwal kemuliaannya. Beliau adalah pemimpin sebuah negara, tetapi beliau tetap dikenal sebagai orang yang bersahaja, bahkan sampai sekarang tidak kurang kemuliaannya.
Kalau mau jujur, sebenarnya orang-orang yang bersahaja itu selalu mencuri hati kita. Kalau ada pejabat tinggi yang bersahaja, hati kita akan tercuri. Kalau ada artis kaya dan terkenal, tetapi bersahaja, kita kagum kepadanya.
Memang bersahaja itu membuat seseorang lebih berharga dari apa yang dimilikinya. Mungkin dia mempunyai mobil bagus, tetapi dirinya jauh lebih berharga daripada mobilnya. Hidup bersahaja itu hemat sebab kita tidak perlu merek-merek yang mahal. Orang yang hidup bersahaja tidak pusing dengan mode, yang penting dia berusaha berpenampilan yang disukai oleh Allah dan tidak menyusahkan orang lain sehingga memakai merek apa saja tidak masalah karena yang penting manfaatnya.
Orang yang bersahaja itu hidup tenteram dan tidak jadi bahan iri orang lain. Karena tidak ada yang membuat orang lain jadi iri, tidak membuat orang lain kotor hati, dan juga tidak membuat dirinya kotor hati.
Karena tabiatnya, kalau seseorang mempunyai barang yang bagus, biasanya dia ingin memperlihatkan atau memamerkan barang tersebut. Misalnya, ketika hendak memarkir mobil, dia selalu mencari tempat terdepan dan tempat strategis agar mobilnya terlihat orang lain.
Nah, bagi orang yang hidupnya bersahaja dia akan tenang-tenang saja karena dia tidak merasa perlu diistimewakan, tidak ingin dispesialkan, sehingga melangkah ke mana pun baginya teramat ringan tanpa beban. Seperti halnya Rasulullah saw naik unta atau naik keledai, bagi beliau sama saja. Bahkan, rumah beliau juga begitu sederhana dan tidak dilengkapi perabotan yang mahal-mahal.
Oleh karena itu, hidup ini harus proporsional.
Lalu, apakah kita harus hidup miskin? Tidak! Namun, setidaknya kalau kita hidup bersahaja, selain hemat dan terhormat, insya Allah juga akan menjadi ladang ibadah bagi kita karena mengikuti sunah Rasulullah saw dan kita tidak membuat orang lain sakit hati. Dari sana, kita juga bisa bergaul secara nyaman dengan siapa pun. Tidak apa-apa kita berpakaian bagus, yang penting proporsional. Misalnya, ketika pergi ke sebuah resepsi, tampaknya tidak layak jika kita berpakaian kumuh dan lusuh karena ingin dianggap bersahaja. Justru malah sebaliknya, orang akan mual melihat kita. Demikian halnya jika kita berangkat ke resepsi dengan memakai segala macam aksesori, tentu itu juga akan menjadikan kita bahan tontonan.
Di pihak lain, kita juga harus mendefinisikan dulu pengertian mewah agar kita tidak mudah menilai orang lain hidup mewah, sementara kita sendiri tidak mengerti maksudnya. Mewah itu adalah sesuatu yang melampaui keperluan dan melampaui kemampuan. Kalau kita di rumah punya sandal jepit sepuluh pasang, bisa jadi kita termasuk orang yang mewah karena kita tidak memerlukan sandal sebanyak itu.
Rumah besar juga belum tentu tergolong mewah kalau pemiliknya memang meniatkan untuk hal-hal positif, seperti menampung anak yatim atau karena keluarganya memang banyak sehingga memerlukan tempat yang luas. Jadi, dalam menilai sesuatu itu mewah atau tidak adalah dengan melihat apakah sesuai dengan keperluan dan kemampuan atau tidak. Yang paling penting adalah niat di dalam hati. Kalau kita terbiasa hidup bersahaja, hidup kita juga akan tenang dan tidak ada beban. Jadi, mulai sekarang latihlah untuk tidak rindu pujian orang dan tidak tamak dengan penilaian orang lain. Bersyukurlah apabila setiap barang yang kita miliki halal dan sesuai kemampuan. Terserah orang mau menganggap kita miskin, tidak apa-apa, karena kita tidak bisa hidup dengan penilaian orang lain terus-menerus.
Apa artinya kita dipuji orang lain, tetapi kita hidup tertekan. Apa artinya bila kita dipuji orang lain, tetapi kita menderita. Apakah seperti itu hidup yang kita inginkan? Mulai sekarang marilah kita evaluasi diri jika masih berminat untuk hidup bermewah-mewah, bersiaplah dengan segudang penderitaan. Akan tetapi, kalau kita hidup bersahaja, itulah yang akan selalu membuat orang menjadi terhormat.
Tampaknya, pola hidup sederhana harus dibudayakan kembali di masyarakat. Tak terkecuali di keluarga kita. Kalau orang tua memberikan contoh pada anak-anaknya tentang kesederhanaan, anak akan terjaga dari merasa diri lebih dari orang lain, tidak senang dengan kemewahan, dan mampu mengendalikan diri dari hidup bermewah-mewah.
Dalam Islam, kaya itu bukan hal yang hina, bahkan dianjurkan. Perintah zakat bisa dipenuhi kalau kita punya harta, demikian pula perintah haji. Yang dilarang itu adalah berlebih-lebihan. Dalam Q.S At-Takaatsur, Allah SWT dengan tegas mencela orang yang berlebih-lebihan. Memang kita harus kaya, tapi tidak harus bermegah-megah. Beli apa saja asal perlu, bukan karena ingin. Keinginan itu biasanya tidak ada ujungnya.
Semoga dengan hidup sederhana dan proporsional; tidak berlebihan, kita memiliki anggaran berlebih untuk ibadah untuk meningkatkan kemampuan kita, dan untuk beramal saleh menolong sesama. Amin. Wallahu 'alam bishshawab.
oleh Ary Ginanjar Agustian
Akhir-akhir ini Indonesia dilanda berbagai musibah baik di darat, laut, maupun udara. Media massa dengan gencar memberitakan kecelakaan menimpa kereta api (KA), tenggelamnya kapal laut, dan kecelakaan pesawat udara.
Belum hilang ingatan kita akan bencana-bencana tersebut, wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi dan Tangerang tergenang banjir. Kehidupan masyarakat dan perekonomian menjadi lumpuh dibuatnya.
Kita semua prihatin dan tentu saja harus mengadakan introspeksi dan evaluasi di balik semua musibah tersebut. Pada Rakernas dan Temu Alumni ke-2 di Bukittingi, Sumatra Barat, belum lama ini, para alumni ESQ mengumpulkan dana sehingga mencapai Rp 65 juta untuk musibah di Sumatra Barat.
Terlepas dari semua itu, kita sepatutnya mengenang kembali makna hidup di dunia ini. Patut disyukuri bahwa hari ini kita masih dapat berjumpa. Sebuah perjumpaan di alam mimpi. Karena, jika kita renungi, sesungguhnya hidup ini adalah mimpi.
Kehidupan saat ini ibarat bayang-bayang, tidak nyata. Hidup ini bagaikan tidur tadi siang, dan ketika terbangun itulah akhirat. Semoga kita senantiasa sadar bahwa sesungguhnya kita dalam impian.
Saya katakan demikian, karena dunia ini adalah tempat kehidupan yang belum ada konsekuensinya secara sempurna. Jadi, apabila kita berbuat baik, kebaikan itu tidak sepenuhnya berbalik jadi kebaikan saat ini. Ketika kita berbuat kemuliaan, kemuliaan itu belum tentu muncul di hadapan kita saat ini.
Begitu pula ketika kita berbuat kejahatan, keburukan, atau kemalasan, dampaknya hanya sebagian yang ditunjukkan saat ini, dan ada yang tersembunyi di belakang.
Oleh karena itu, kita patut bersyukur jika ujian atau hukuman itu datang. Ujian bisa berupa sakit, kehilangan harta benda, atau musibah lainnya. Semua itu dasarnya merupakan keseimbangan yang harus kita terima sebagai akibat logis dari keseimbangan alam semesta.
Dalam hal ini, kita dapat melihat teladan Nabi Muhammad sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Menyadari usianya tak akan lama lagi, Nabi Muhammad bertanya, "Siapa yang dulu aku sakiti, maka berilah aku balasan seperti yang pernah aku lakukan."
Hal ini menyiratkan bahwa Nabi lebih senang mendapatkan balasan di dunia daripada nanti di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak usah bersedih jika mendapat masalah, penderitaan, dan kekurangan. Itu semua adalah efek dari apa yang kita lakukan, sedangkan efek sisanya akan lunas di akhirat. Yang berbuat baik bunganya akan didapatkan di akhirat, di hari pembalasan.
Pikiran, kata, dan sikap akan berdampak pada alam. Dampak itu semuanya akan direspons oleh alam. Karena alam memiliki kesadarannya sendiri. Sesungguhnya alam itu adalah energi, yang dalam ilmu fisika disebut Fisika Quantum Vacuum.
Dari manakah semua itu? Siapakah yang menyeimbangkan? Dialah 99 energi, 99 kekuatan Kuantum Vacuum. Sesungguhnya, itu semua adalah energi Asmaul Husna. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan dibalas dengan keburukan, demi menjaga keseimbangan.
Oleh karena itu, selama kita masih hidup di dunia, berlomba-lombalah dalam menciptakan balasan atau konsekuensi, yaitu surga. Berlomba-lombalah untuk menciptakan semua kebaikan yang tidak dilihat oleh manusia ataupun yang terlihat pandangan orang lain.
Sadarlah, kita semua masih mimpi, karena kita semua masih berada dalam bayang-bayang. Kita berada di alam fana, bukan di alam sesungguhnya. Percayalah, suatu hari ketika masuk di alam pembalasan, kita akan mengatakan benar bahwa saya dulu di dunia hanyalah mimpi, dan sekarang adalah nyata.***